Selasa malam, tepatnya pukul 20.00 WIB (18-01-2011), tidak ada maksud malam itu mencari pemadam kelaparan atau penenang nafsu makan, tapi hanya untuk bertemu dan ngobrol santai dengan kawan-kawanku. Ku palingkan penglihatan ke kanan-kiri tak seorangpun ku kenal, langsung ku putuskan saat itu untuk menambah pasokan bahan bakar supaya perjalanan obrolan santai nanti berlangsung enjoy dan khitmat serta mampu memijarkan ide-ide yang terpasang dalam pikiran.
“Pak, pesen satu mangkok rawon ya” kataku, dengan cekatan dan trampil si penjual rawaon itu merespon pesananku, ayunan tangan kanan-kirinya mulai berkolaborasi dalam mehidangkan semangkok rawon buatku. Tanpa basa-basi, dengan mulut terkunci si penjual rawon tersebut, menyodorkan semangkuk rawon hasil rajikannya kepada ku, dengan senang dan agak keheranan ku sampaikan, “makasih pak”.
Keherananku makin tak terbendung setelah ku lahap dua sendok rawon, sejenak merenung untuk mengumpulkan bahan yang nantinya akan ku jadikan sebagai senjata menanyakan sosok si penjual rawon. Sebulum ku tanyakan, ku mencoba menggambarkan sosok yang nampak jelas dari luar, dengan kaca mata subjektifitas yang ku punyai, ku mulai menerka bahwa beliau tidak sepadan dengan ku, muda pernah dilaluinya, jelas bukan seusia, pasti beda generasi, jauh lebih dalam sosok itu memancarkan kerakusan makan garam, yang ku maksud beliau banyak makan garam dari pada aku, berarti tua.
“Pak Tua”, ku menyebutnya. Kenapa kesimpulankan menjurus pada tiga hurus, yaitu “TUA”??, karena kapasitas (outter beaty) yang beliau miliki yang menjawab beliau “TUA”, dari ujung kaki ke ujung kepala, bukan menjadi raharia umum lagi kalau beliau pemakan garam kehidupan, entah generasi siapa beliau muncul ke permukaan, entah sama siapa beliau mau mengenal raut muka kehidupan, entah dengan siapa beliau mulai mengenal resep warisan negri ini, dan entah dengan cara apa dan bagaimana beliau tetep eksis di era yang mulai meniadakan kebanggaan hasil karya/ warisannya, dapat dipastikan beliau bukan lagi masuk zona generasiku, tetapi iya kalau beliau turut campur adanya generasiku sekarang itu.
“Nami njenengan sinten pak”, dengan ramah ku mulai mencoba mengintrogasinya,
sedikit kaget pak tua itu menimpalinya’ “Sukarno”,
“Sinten pak”, heran ku.
“Sukarno”, tegasnya sambil menyandarkan punggungnya pada kursi
“Ooh Sukarno”, gumam ku.
Ku lanjutkan mengayunkan kanankan sambil memegang mangkok rawon di tangan kiri, selang sesendok ku makan, ku lanjutkan kembali obrolan dengan pak tua si penjual rawon, dengan bahasa campur baur, “umurnipun berapa pak, 60-an?”.
Pak Tua langsung merespon dengan cekatan menjawab, “bukan, tapi 80an”.
“Haaaa, 80an..!!”, gumamku.
Sejenak ku coba merenungkan jawaban yang terlontar dari mulut minim senyum dari pak tua itu, tak kusangka dengan umur yang tidak muda, jauh ditinggal segenerasinya pak tua itu masih semangat mencari penghidupannya, atau eksistensinya. Unique dan menarik dianalisis motif apa yang mendorong pak tua tersebut tetep konsisten dan setia dengan dua bakul angkut dan rawonnya. Ku mencoba memancing kembali dengan melesatkan pertanyaan, “putranipun berapa pak”, kataku,
“enem, cucunepun enem”, timpal pak tua,
Dalam hati ku membatin, “lah trus gawe opo dodalan rawon bengi-bengi bapak iki”.
Sambil ku makan rawon, ku terus tertarik melihat jauh sosok dari pak tua si penjual rawon di sampin Jl. Sukarno Hatta, Malang. Mulai ku tanyakan kembali ke pak tua, “griyonipun pundi pa?”
“Belakange UNMU”, jawab pak tua.
“Weeehhh, jauh banget jualane”, sontok ku membatin.
UNMU atau UMM kependekan dari Universitas Muhammadiyah Malang, yang terletak agak jauh dari Jl. Sukarno Hatta, ya kurang lebih 5 km. Lumayan jauh kalau dirasa dengan kondisi tubuh yang tidak muda lagi pak tua membanting tulang untuk tetap menunjukkan kemampuan dan kelihaian dalam mendagangkan rawon malang, karena beliau orang asli malang maka ku menyebutnya rawon malang.
Dengan dua wadah jinjing tempat bekal rawon yang didagangkan itu, menempu jalan yang lumayan panjan rasanya, dibarengi tubuh kondisi yang sudah lapuk dimakan zaman, keherananku mulai bertambah heran, sambil bergumam, “trus bapak kesini pakai opo pak?”
Sambil menunjuk tangan kanannya, pak tua jawam, “kai gerobak lan motore”.
Ternyata pak tua mengangkut dagangannya menggunakan gerobak yang digandeng motor, yang mungkin juga motor itu kesayangannya, karena motornya jauh dari kemaapanan, artinya motor tua yang turun mendampinginya di kala suka dan duka.
Mantap sudah sosok pak tua si penjual nasi rawon di pinggir Jl. Sukarno Hatta, Malang yang termasuk jalan besar dan ramai yang ada di Malang, semantap racikan resep rawonnya yang mulai didagangkan di awal tahun 90an sampai sekarang. “Mantap Pak”, dalam batinku mengatakan.
Inilah sekelumit cerita pak tua si penjual rawon, usia boleh labuk ditelan zaman tapi semangat hidup dan berjuang tak boleh lapun dihantap kesemerawutan zaman. Patut dijadikan presenden apik buat kita untuk selalu berkarya dan pantang surut berjuang ditengah zaman yang kian hari kian ketidakpastian, hanya dengan semangat dan memaksimalkan ikhtiar serta selalu istiqomah, apa yang kita impikan akan tercapai.
Sekian dari cerita jalanan.,