Pekerja Anak Nelayan : Sebuah Ironis Generasi Miskin Pendidikan dan Miskin Ilmu
Pendidikan semestinya mempunyai andil dalam mencerdaskan manusia (memanusiakan manuasia), tetapi realitas yang terjadi di sebagian besar masyarakat nelayan, pendidikan merupakan khalayan (fatamorgana). Mengapa demikian? Karena pekerjaan yang membuat anak-anak nelayan memeras akal dan pikirannya. Akibatnya masyarakat nelayan terjebak pada pemiskinan dan kemiskinan.
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan mempunyai potensi kelautan cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada potensi kelautan (maritim) tersebut. Realitasnya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan bahkan kehidupan nelayan sering diidentifikasikan dengan kemiskinan . Menurut Dahuri (1999), tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor perikanan agraris. Menurut data BPS (1998), jumlah masyarakat miskin Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa, dari jumlah tersebut sekitar 60% nya yang merupakan masyarakat pesisir (termasuk nelayan). Nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di antara kelompok masyarakat lain di sektor pertanian (Winahayu et al, 1993 dalam Badaruddin et al, 2005).
Kesejahteraan seseorang tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lainya, hal ini juga terjadi pada keluarga nelayan yang terbagi menjadi dua, yaitu keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan pendega. Hal ini mempengaruhi seberapa besar tenaga kerja yang digunakan dalam membantu dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Kemiskinan dan tingkat kesejahteraan yang rendah mendorong semua anggota keluarga nelayan seperti istri dan anak-anak untuk ikut membantu suami bekerja atau ayah mereka (Yulianti, 2001).
Anak-anak nelayan baik anak nelayan pendega maupun anak nelayan juragan biasanya menggunakan waktunya bervariasi, salah satunya ikut bekerja membantu orang tua dibidang perikanan. Walaupun sebenarnya mereka dalam kelompok bisnis, yang sebagian waktunya digunakan untuk menuntut ilmu di sekolah. Pekerjaan anak-anak nelayan biasanya sama dengan orang tua mereka, sebab keterampilan sabagai nelayan bersifat sederhana dan hampir semua dapat dipelajari dari orang tua sejak anak-anak (Mubyarto, 1984).
Memandang pekerja anak dalam kerangka peran dan hak anak dalam masyarakat mengisyaratkan pemahaman kontekstual terhadap situasi dan kondisi suatu masyarakat karena perbedaan karakteristiknya. Latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi insiden keberadaan pekerja anak dan hubungan persoalan yag dihadapi. Pemahaman kontekstual terhadap situasi pekerja anak juga akan membantu mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang mengancam kesehatan dan keselamatan anak serta merenggut kesempatan bermain dan belajar mereka. Selain itu, dapat pula diperoleh penjelasan bentuk bahaya apa yang dihadapi anak–anak dalam pekerjaannya, sehingga dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan jenis intervensinya.
Yang menarik untuk diperhatikan dari fenomena pekerja anak adalah isu bahwa anak bekerja sebagai wujud partisipasinya terhadap ekonomi keluarga (orang tua) dan anak bekerja sebagai wujud eksploitasi anak yang mungkin berasal dari orang tua, lingkungan atau yang lainnya.
Berbagai studi tentang pekerja anak di Indonesia sering kali menemukan bahwa anak cenderung lebih mudah diperlakukan salah, mereka menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan, rentan terhadap eksploitasi, dan tidak kalah penting pekerja anak umumnya juga kehilangan akses untuk mengembangkan diri secara fisik, mental dan intelektual (Irwanto et. al, 1995, dalam Suyanto et al, 2000).
Selama ini perlindungan hukum terhadap pekerja anak dari masa ke masa telah ada. Misalnya sejak awal berdirinya ILO tahun 1919 telah menetapkan pada pembukaan konstitusinya bahwa pekerja anak merupakan masalah yang perlu segera ditangani (Suyanto et. al, 2000).
Pemerintahpun cukup responsif menangani permasalahan mengenai pekerja anak melalui kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, salah satunya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang di dalamnya disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Akan tetapi, dalam bidang perikanan hal tersebut sebenarnya menjadi dilema, karena apabila hal tersebut dilakukan perubahan maka akan merubah struktur sosial masyarakat nelayan yang sebenarnya sudah memiliki kearifan lokal, namun apabila diteruskan maka akan menjadi sebuah pertanyaan besar: Bagaimana nasib anak-anak itu?
Kelurahan Mayangan merupakan daerah penangkapan ikan. Biasanya nelayan pulang dari menangkap ikan di laut pada waktu pagi atau sore hari, saat mereka melakukan bongkar muatan dan melakukan transaksi banyak ditemukan anak-anak kecil yang masih usia sekolah ada di sekitarnya. Pada jam-jam sekolah mereka berada di pantai untuk ikut belajar membongkar muatan dan di antara mereka ada yang mengambil ikan (mencuri) milik nelayan yang baru datang. Ada juga anak yang turun dari kapal karena ikut berlayar (Yulianti, 2001).
Berdasarkan realita sosial di Kelurahan Mayangan dalam penelitian Kurniati (2004) menyatakan bahwa anak-anak nelayan cenderung memilih bekerja daripada sekolah. Hal itu merupakan kebiasaanya yang sering terjadi di masyarakat pesisir pantai (nelayan).
Oleh karena itu, perlu adanya solusi yang dapat mengeluarkan mereka (anak-anak nelayan) dalam kubangan ketidaktahuan atau kemiskinan ilmu pengetahuan, yang nantinya akan membebaskan mereka dari pemiskinan dan kemiskinan yang telah lama menjadi sebuatan masyarakat nelayan. Berikut solusi yang dapat ditawarkan, yaitu: (1) Peningkatan kesadaran orang tua akan keselamatan dan kesejahteraan demi masa depan anak; (2) Diperlukan suatu upaya yang mengatur keseimbangan kerja dengan masa depan dengan membentuk pendidikan alternatif; (3) Optimalisasi peran tokoh masyarakat; (4) Diperlukan lembaga sebagai pendamping (untuk mendampingi ke-3 prosedur diatas); (5) Diperlukan kebijakan dari pemerintah yang setingkat dengan kebijakan yang telah ada dan kebijakan tersebut lebih dikhususkan pada pekerja anak nelayan atau bisa pula dilakukan revisi undang-undang yang sudah ada.
Peneliti sekaligus Pengamat Pesisir dan Perikanan
Konsorsium Mitra Bahari RC Jatim
sepakat bwt solusinya, sip sip :)
ReplyDelete