MAGROVISASI UPAYA MENCEGAH INTRUSI AIR LAUT
(Bertolak pada Peristiwa ‘Ambles-nya Jembatan’ RE Maratadinata, Jakarta)
Peristiwa ‘Ambles-nya Jembatan’ Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, sepanjang 103 meter, Kamis (16/9/2010), dini hari telah membuat banyak pihak terpukul, karena jembatan jalan RE Martadina sebagai salah satu jantung perekonomian Indonesia. Jalan RE Martadinata merupakan jalan pengubung menuju Tanjung Priok, dimana akan berdampak pada lumpuhnya aktivitas perdagangan ekspor-impor.
Perlu ditelaah dan dikaji lebih dalam apa yang sebenarnya menjadi penyebab ambruknya jembatan jalan RE Martadinata tersebut. Menurut pakar meteorologi dan geofisika ITB Armi Susandi menyatakan bahwa penyebab utama rapuhnya tanah di Jakarta adalah tingginya kadar garam pada air tanah akibat intrusi (perembesan air laut ke daratan). Intrusi ini terjadi akibat adanya penyedotan air tanah yang berlebihan. Ubaidillah dari Wahana Lingkunga Hidup (Walhi) melaorkan bahwa setiap tahunnya Jakarta devisit air tanah sebanyak 66,6 juta meter kubik.
Perembesan air laut ke daraan (intrusi) akan menyebabkan tanah dan bebatuan yang menyusun lapisan tanah menjadi keropos. Secara kimiawi, air berkadar garam tinggi mempunyai sifat yang merusak tanah dan bebatuan, sehingga tanah dan bebatuan tidak sanggup lagi menahan beban berat di atasnya. Menurut Armi, wilayah-wilayah yang keropos itu meliputi pelabuhan, bandar udara, permukiman padat, dan gedung-gedung bertingkat.
Penyedotan air tanah yang berlebihan itu, akan berdampak masuknya air laut yang bersalinitas tinggi masuk menggantikan fungi air tanah yang bersalinitas rendah di dalam tanah. Tersedotnya air tanah dengan intensitas yang tinggi akan berbanding lurus dengan masuknya air laut ke dalam tanah. Akibat penyedotan air tanah yang berlebihan ini, permukaan tanah turun dan intrusi makin besar. Menurut Direktur Keadilan Perkotaan Institut Hijau Indonesia, Selamet Daroyni, laju penurunan tanah Jakarta meningkat drastis dari 0,8 cm per tahun pada kurun 1982 – 1992 menjadi 18-26 cm per tahun pada 2008, terutama di daerah Jakarta Utara. Dengan melihat tingkat penurunan tanah tersebut, ada pakar yang memprediksi, Jakarta akan tertelan bumi pada tahun 2050.
Amblenya jembatan jalan RE Martadinata yang menjadi salah satu bagian vital perekonomian Indonesia merupakan salah satu contoh dari kerakusan akibat ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang berlebihan (eksploitasi). Untuk itu, belum terlambat kiranya dicarikan solusi, mengatasi rawan amblesnya tanah dan terjadinya intrusi di daerah ibu kota. Penanganan yang harus segera dikerjakan bukan hanya membuat pondasi yang kuat, membutat dinding di pingir pantai, reklamasi pantai, dan pemecah ombak . Melainkan, dengan penanganan yang mengedepankan asas keberlanjutan dan ramah lingkungan, yaitu mangrovisasi.
Mangrovisasi merupakan aktivitas penanaman mangrove (bakau) di pinggir pantai dan menjaga kelestariannya. Mengingat bahwa mengrove sebagai green belt (sabuk pengaman yang ramah lingkungan). Menurut Alikodra (2010), mangrove adalah tumbuhan yang ”tercipta” di alam untuk mengatasi problem intrusi dan gelombang air laut. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan, baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya. Hutan mangrove ini tumbuh dengan baik pada pantai berlumpur yang terpengaruh pasang surut air laut dan kadar garam.
Hutan mangrove bukan saja sebagi green belt dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan, akan tetapi hutan mangrove juga befungsi sebagai habitat satwa langka, pelindung bencana alam, pengendapan lumpur, penambat racun, sumber alam dalam kawasan (in-situ) dan luar kawasan (ex-situ), plasma nutfah, sumber makanan bagi ikan, tempat melakukan pemijahan ikan, penyerapan karbon, memelihara iklim mikro, pariwisata, penelitian dan pendidikan (Davis et al, 1995).
Mangrovisasi yang nantinya diaplikasikan di Jakarta ini maka kerusakan tanah akibat intrusi air laut dapat teratasi. Tentunya langkah mangrovisasi ini harus dibarengi dengan pencegahan dan pengontrolan penyedotan air tanah yang berlebihan sesuai dengan batas ambang yang ditentukan, serta memperluas penanaman tumbuhan maupun pepohohan guna membantu dalam penyerapan air hujan. Jika itu dilakukan dengan rapi, maka Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia akan bangkit dari ancaman degradasi alam. Mari bersama-sama membenahi Jakarta menuju Jakarta Hijau.
Abdul Aziz Jaziri
Peneliti sekaligus Pengamat Pesisir dan Perikanan
Konsorsium Mitra Bahari RC Jatim
No comments:
Post a Comment