Menilik Kedaulatan NKRI dengan Deklarasi Djuanda (Pasca Insiden Tanjung Berakit, Bintan, Kepri 13 Agust 2010)

Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, berisikan bahwa pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.

Setelah menelaah isi dari Deklarasi Djuanda, memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan kedaulatan negara Republik Indonesia ada disana (kepulauan, red.). Namun hal ini tidak menjadikan negara Reprublik Indonesia benar-benar berdaulat tatkala kita melihat peristiwa Tanjung Berakit, Bintang di Kepulauan Riau pada 13 Agustus silam.

Peristiwa Tanjung Berakit tersebut merupakan sekian banyak dari pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh negara tetangga, yang konon merupakan negara serumpun, yaitu Malaysia, dengan melakukan tindakan yang murka terhadap 3 petugas negara dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diklaim oleh Kepolisian Rajda Malaysia sebagai wilayah kekuasannnya. Padahal hasil investigasi menunjukkan bahwa penangkapan 3 petugas pemerintah tersebut masih berada pada wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Tindakan Kepolisian Rajda Malaysia itu tidak hanya melanggar batas wilayah neraga Republik Indonesia saja, melaikan suatu bentuk pelecehan dengan bumbu kekerasan, karena 3 petugas pemerintah tersebut diperlakukan seperti perompak/ perampok dengan tangan terborgol dan pemakaian seragam tahanam. Bahkan sebelum melakukan penangkapan ke-3 petugas pemerintah tersebut, polisi malaysia melakukan pengejaran dan penembakan yang mana hal itu sungguh merupakan pemerkosaan etika dan sikap bringas polisi malaysia yang kian menunjukkan taringnya di hadapan mata warga negara Indonesia.

Disamping itu, sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia melalui pidato presiden NKRI, Susilo Bambang Yudoyono cenderung normatif dan ramah terhadap Malaysia, bahkan pemerintah rela melepaskan 7 orang Malaysia yang jelas-jelas menjuri dan merampok ikan di daerah kedaulatan Republik Indonesi dengan mem-barter 3 petugas pemerintah, malahan 7 orang Malaysia (pencuri, red.) membawa pulang kapal dan hasil tangkapannya ke negaranya.

Ketidaktegasan dan kekhawatiran Presiden SBY semakin tampak jelas pada isi pidato yang disampaikan, yaitu mengatasnamakan jasa-jasa Malaysia terhadap para TKI yang sudah diberi makan dan minum, mengeman 50 triliun devisa TKI per tahunnya, nilai investasi Malaysia di Indonesia sebagai wujud suburnya perekonomian Indonesia, tertampungnya pelajar-pelajar Indonesia di Malaysia, dan yang lainnya. Jika kita cermati lebih detail isi pidato tersebut, menunjukkan bahwa sikap pasif dan pesimis kian menyelimuti Presiden RI yang merupakan cerminan dari suatu bangsa.

Sementara itu, masyarakat akar rumput warga negara Republik Indonesia ini tidak tinggal diam melihat kebringasan Malaysia yang kian membabi buta terhadap Indonesia. Setelah Malaysia melakukan pencurian budaya Indonesia (Reog, Angklung, Rasa Sayange, dan masih banyak yang lainnya). Amarah memuncak setelah sekian banyak pelecehan terhadap martabat dan kedaulan bangsa Indonesia ini, maka sangat wajar kalau masyarakat akar rumput meluapkan kemarahan kepada negara serumpun itu, dimana hal ini sebagai tindakan bela negara yang wajib dijalankan.

“Ganyang Malaysia” mungkin kaliamat itu yang tepat kiranya kita dengungkan sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Maka kita sebagai warga negara Indonesia harus mengambil garis tegas terhadap Malaysia karena tindak tanduk Malaysia amat sangat mencurigakan keberadaan di belahan Nusantara ini. Oleh karena itu, pemerintah dan warganya harus bersatu dan mempertegas kembali hubungan kita dengan Malaysia dan mempertegas bahwa Rebublik Indonesia merupakan negara kepulauan yang berdaulat, seperti pesan dari Deklarasi Djuanda.

Abdul Aziz Jaziri
Peneliti dan Pengamat Pesisir dan Perikanan
Konsorsium Mitra Bahari RC Jatim